Sejarah Penemuan Komodo 1 - Majoor Pieter Anthonis Ouwens (1849 - 1922)
Oleh. Rini Rismayani (PEH Pertama TN Komodo) Komodo - Biawak Komodo - Varanus komodoensis - Komodo Dragon -
Comodo Dragon - 科摩多巨蜥 - 科莫多龙 - 科摩多龙
Varanus komodoensis, baru dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan pada tahun 1912 pada saat Ouwens mempublikasikan hasil penelitiaannya dalam Buletin du Jardin Botanique de Buitenzorg, 2 me seri No.VI, 1912, berjudul “On a Large Varanus Species from the Island of Komodo”. Fakta ini cukup mengherankan karena sejak tahun 1907, Kebun Raya Bogor telah mengoleksi anggrek-anggrek dari Pulau Komodo, sehingga janggal komodo begitu lama tersembunyi. Pada masa itu perairan sekitar komodo juga telah dikenal oleh para pencari mutiara, bahkan telah berdiri sebuah perusahaan mutiara.
Dokumentasi tertua mengenai perjalanan penelitian di sekitar Flores dibuat oleh botanikus dari Swiss yaitu H. Zoolinger pada awal abad 19. Hampir seratus tahun sebelum Ouwens mempublikasikan komodo. Rupanya Pulau Padar, Pulau Komodo dan Pulau Rinca luput dari perhatian Zoolinger. Apabila mencermati pengalaman-pengalaman pelayaran Zoolinger, dapat diperkirakan mengapa habitat komodo tidak disinggahi. Yaitu karena para peneliti pada masa itu merasa lebih baik bila tidak terlalu jauh keluar dari pengaruh kompeni (VOC), yang batas-batasnyapun sering berpindah. Zoolinger menceritakan bahwa pada tahun 1823 daratan Manggarai (Flores Barat) dihancurkan oleh para bajak laut. Pengaduan pengaduan serupa juga datang dari bagian-bagian lain pulau ini.
Patut dipertimbangkan juga peristiwa letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa bagian Utara pada 10 April 1815. Dunia mencatat sebagai letusan gunung terdasyat, konon empat kali lebih dasyhat dari letusan Gunung Krakatau. Dampak letusan Gunung Tambora bahkan sampai pada benua Eropa, tahun 1816 di Eropa disebut sebagai tahun tanpa musim karena partikel abu yang dimuntahkan Gunung Tambora memenuhi atmosfir bumi sehingga mengacaukan iklim dunia. Prahara terbesar tentu terjadi di Pulau Sumbawa, tiga kerajaan kecil di pulau itu luluh lantak tak berbekas. Lalu bagaimana dengan nasib komodo kita yang tinggal dalam radius kurang lebih dari 150 km di sebelah timur Pulau Sumbawa?
Zoolinger mendeskripsikan bagian-bagian timur Pulau Sumbawa: “Semua bukit-bukit tidak bertumbuhan, batu-batu yang berwarna hitam di atasnya tidak dihiasi warna hijau sedangkan rumput di lereng-lereng telah begitu kering dan lapuk, sehingga apabila jerami yang berwarna kering itu diremas diantara jari-jari tangan mudah menjadi debu. Dalam perjalanan kami temukan di sana-sini bangkai-bangkai kuda, kerbau dan babi hutan, kemungkinan mati oleh kelaparan dan kehausan”. Tetapi Zoolinger juga menyampaikan khabar yang menyenangkan untuk komodo kita, bahwa dampak letusan Gunung Tambora kearah timur tidak seberapa nyata karena saat itu sedang bertiup angin musim timur.
Kembali pada Ouwens. Adalah seorang Letnan Infanteri JKH van Steyn van Hensbroek yang bertugas di Reo, Flores yang menyampaikan pertama kali mengenai komodo kepada Ouwens. Dia mengunjungi Pulau komodo dan mengetahui tentang komodo dari para pencari mutiara. Bahwa di sekitar Labuan Bajo (Flores) dan di Pulau Komodo ditemukan biawak yang luar biasa besarnya dan dinamakan buaya darat oleh penduduk setempat. Publikasi perdana mengenai komodo tak lepas dari dramatisasi yang menggegerkan. Diberitakan bahwa komodo adalah reptil dengan ukuran yang fantastis yaitu 7 meter. Disebutkan juga bahwa satwa ini tuli, sehingga orang dapat membuat kegaduhan semau-maunya di dekat komodo tanpa mengganggunya. Cerita-cerita tersebut tentu mengundang banyak rasa keingintahuan orang. Terlebih lagi dalam publikasinya Ouwens tidak mendeskripsikan habitat satwa unik tersebut. Tentu saja karena Ouwens sebagai sang pengunggah tidak pernah mengunjungi Pulau Komodo. Maka cerita mengenai satwa unik ini semakin simpang siur.
Selanjutnya di Pulau Komodo marak oleh ekspedisi-ekspedisi penangkapan komodo, untuk diambil kulitnya atau dibawa hidup-hidup. Sebagian untuk kepentingan pengetahuan, sebagian tentu saja untuk memuaskan penasaran khalayak. Dari sampelsampel tersebut berita seputar komodo diralat bahwa ukuran komodo tidak sepanjang 7 meter tetapi kira-kira 3 meter. Tentu saja situasi maraknya penangkapan komodo ini mengundang kekhawatiran pecinta alam. Maka Pemerintah Swapraja Bima melakukan tindakan dengan melindungi satwa komodo berdasarkan Undang-Undang Kesultanan Bima tanggal 12 Maret 1815. Rupanya peraturan itu hanya berlaku untuk kawula swaparaja. Sehingga penangkapan-penangkapan masih sering terjadi. Tahun 1926 Pemerintah Swapraja Manggarai kemudian mengeluarkan aturan serupa, disusul Residen Flores pada tahun 1930. Akhirnya Tahun 1931 satwa komodo dimasukkan dalam jenis yang mutlak dilindungi dalam Undang-Undang Perlindungan Binatang Liar.
Kembali lagi kepada Pak Ouwens yang rupanya merasa kecewa. Karena satu dekade setelah publikasinya, seputar “Pulau Buaya Darat serta Naga dari Komodo” tetaplah sebuah misteri. Ternyata publikasinya kurang cukup merangsang perhatian para herpetolog atau peneliti lainnya untuk menguak misteri spesies komodo serta segala perikehidupannya.
Hingga akhirnya pada tahun 1926 Douglas Burden dari Amerika melakukan ekspedisi untuk meneliti Varanus komodoensis, bersama beliau turut serta seorang herpetolog terkenal E.R. Dunn. Ekspedisi ini mengumpulkan materi-materi untuk The American Museum of Natural di New York untuk tujuan ilmu pengetahuan serta persiapan pameran koleksi dari museum tersebut. Dari hasil ekspedisi tersebut dihasilkan banyak publikasi serta diterbitkan sebuah buku yang kemudian menjadi sangat populer yaitu “Dragon Lizard of Komodo An Expedition to the Lost World of the Dutch East Indies”.
Demikian sepenggal kisah “penemuan” komodo di masa lalu.
*Disadur dari Laporan Perjalanan Dinas ke Pulau-Pulau Komodo, Padar dan Rinca (Kepulauan Sunda Kecil) 21 Mei-6 Juli 1953 oleh A Hoogerwerf, dengan pengayaan.
Majoor Pieter Anthonis Ouwens (1849 - 1922;Nederland)
Ouwens, Pieter Anthonis [Major] (1849-1922; Netherlands)
- Mainly known as herpetologist.
K. W. Dammerman, 1921. Majoor P. A. Ouwens.
Teysmannia (Batavia) 32(3): i-vi, 1 pl. [portrait].
Benthem Jutting, 1939: 183-184.
Engel, 1986: 205-206.
Andries Hoogerwerf
Andries Hoogerwerf (29 August 1906 – 5 February 1977) was a Dutch athlete, naturalist, ornithologist and conservationist who spent much of his working life in the Dutch East Indies and Dutch New Guinea.
Hoogerwerf's athletics career lasted from the early 1920s until 1930, during which period he competed in middle-distance running events. In 1923 Hoogerwerf established his first Dutch national record, completing the 800 metres in 1:56.6. In the 1000 metres event he improved the Dutch record even three times, starting with 2:40.2 in 1929 and ending in 2:35.2 in 1930. In 1930 he finally also improved the Dutch 1500 metres record from 4:10.6 into 4:08.6.
Hoogerwerf competed in the 1928 Summer Olympics in Amsterdam as a member of the Dutch 4 x 400 metres relay team. The team was eliminated in the qualifications.
In 1927, 1929 and 1930 Andries Hoogerwerf was Dutch 800 metres champion. Besides he was also a member of the 4 x 400 metres relay team of his club HAV that captured the Dutch title in 1926, 1927 en 1929.
In 1931 Hoogerwerf moved to Java in the Dutch East Indies (now Indonesia) where he worked at the Bogor Botanical Gardens. He was appointed the nature protection officer of the colony’s nature reserves in 1935, and is especially associated with Ujung Kulon National Park, Indonesia’s first, and the conservation of the Javan Rhinoceros.
Hoogerwerf returned to the Netherlands in 1957, although continuing to visit Indonesia. He was also stationed from October 1962 to April 1963 at the Agricultural Experimental Station at Manokwari in Dutch New Guinea, serving as its Scientific Officer. He eventually settled at the town of Castricum in the Netherlands where he died of cardiac arrest in 1977. He is commemorated in the names of Hoogerwerf's Rat (Rattus hoogerwerfi) and the Hoogerwerf's Pheasant (Lophura hoogerwerfi).
Andries Hoogerwerf (29 August 1906 – 5 February 1977) was a Dutch athlete, naturalist, ornithologist and conservationist who spent much of his working life in the Dutch East Indies and Dutch New Guinea.
Hoogerwerf's athletics career lasted from the early 1920s until 1930, during which period he competed in middle-distance running events. In 1923 Hoogerwerf established his first Dutch national record, completing the 800 metres in 1:56.6. In the 1000 metres event he improved the Dutch record even three times, starting with 2:40.2 in 1929 and ending in 2:35.2 in 1930. In 1930 he finally also improved the Dutch 1500 metres record from 4:10.6 into 4:08.6.
Hoogerwerf competed in the 1928 Summer Olympics in Amsterdam as a member of the Dutch 4 x 400 metres relay team. The team was eliminated in the qualifications.
In 1927, 1929 and 1930 Andries Hoogerwerf was Dutch 800 metres champion. Besides he was also a member of the 4 x 400 metres relay team of his club HAV that captured the Dutch title in 1926, 1927 en 1929.
In 1931 Hoogerwerf moved to Java in the Dutch East Indies (now Indonesia) where he worked at the Bogor Botanical Gardens. He was appointed the nature protection officer of the colony’s nature reserves in 1935, and is especially associated with Ujung Kulon National Park, Indonesia’s first, and the conservation of the Javan Rhinoceros.
Hoogerwerf returned to the Netherlands in 1957, although continuing to visit Indonesia. He was also stationed from October 1962 to April 1963 at the Agricultural Experimental Station at Manokwari in Dutch New Guinea, serving as its Scientific Officer. He eventually settled at the town of Castricum in the Netherlands where he died of cardiac arrest in 1977. He is commemorated in the names of Hoogerwerf's Rat (Rattus hoogerwerfi) and the Hoogerwerf's Pheasant (Lophura hoogerwerfi).
http://en.wikipedia.org/wiki/Andries_Hoogerwerf
Herpetologi (Bahasa Yunani: ἑρπετόν herpeton = melata, dan λόγος logos = penjelasan atau alasan) adalah cabang ilmu zoologi yang mempelajari kehidupan (biologi) reptilia dan amfibia. Sesungguhnya, objek kajian ilmu ini adalah vertebrata berkaki empat (tetrapoda) yang "berdarah dingin" (poikiloterm) karena reptilia dan amfibia tidak banyak memiliki kemiripan.
Herpetologi makin banyak dipelajari seiring dengan berkembangnya kecenderungan menjadikan reptil sebagai hewan peliharaan. Selain itu, banyak anggota dari kedua kelompok besar hewan ini yang menghasilkan bisa/racun yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat-obatan bagi penyakit jantung dan stroke.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar